“ Hari ini… dimalam dingin
Bulan itu masih bersinar,
Dan kilaunya membasuh bisu
Di keheningan, aku masih ragu.”
Kembali kutulis sebait puisi, aku sadari kalau aku hanya mampu mengungkapkan semua ini hanya pada lembaran kertas, hanya mampu menorehkannya. Aku begitu berani memujanya lewat goresan penaku. Lain dengan kenyataan yang sesungguhnya, aku yang hanya mampu memandangnya, tak punya keberanian untuk ucapkan cintaku padanya. Akh.. aku ragu, aku takut kalau aku hanya akan di tertawai, apalagi kalau sampai ditolak mentah-mentah, duh..malunya.
“ Wei..Wei, Ngapain lagi sich masih pake corat-coret puisi juga?, gak zaman lagi.” Kata Awin meleburkan konsentrasiku yang lagi nulis puisi di tepi kolam ikan lele dumbo di depan kost-kosan kami.
“ Ah..nggak, Cuma nyalurin hobby, siapa bilang puisi gak zaman?, puisi itu karya seni tau!” jawabku sambil memandang pantulan bulan di kolam.
“ Wei, kita sudah dua tahun satu kost, sekamar lagi. Aku sudah lama mengenalmu. Puisi kamu yang ini lain. Puisi yang tak pernah terucap, puisi yang hanya mampu memandang. Puisi yang selalu berontak untuk keraguan, tapi tak mampu kamu ucapin. Sudahlah…, ucapin aja lagi. Apa susahnya sich nembak cewek?” ceramahnya kemudian.
Aku tak menjawab. Aku akui, semua itu benar. Rasanya aku bagai pecundang yang hanya berani pada lembaran-lembaran kertas.
---------------------$$$-------------------------
Malam kembali datang, sama seperti malam-malam sebelumnya. Sehabis mandi, aku berpakaian rapi, pakai parfum Kenjo kesukaanku, dan bersiap-siap ke kost Anggi. Sang bulan di atas air yang kupuja selama ini.
“ Mau kemana, Wei?, ngapelin Anggi nih?” goda Awin.
“ Iya nih, kangen.” Jawabku asal.
“ Wei, apa Anggi tau kalau kamu suka dia?” tanya Awin lagi.
Sesaat aku terdiam, kemudian kugelengkan kepala seraya masih memperhatikan wajahku di depan cermin.
“ Sampai kapan sich kamu jadi pemuja rahasia gitu?. Aneh..!, kalau soal mata kuliah, kamu jagonya. Selalu dapat A, minimal B plus. Tapi kok sama seorang Anggi saja kamu jadi lembek gitu?” tanya Awin lagi.
“ Entahlah Win, aku nggak mampu. Aku takut persahabatan kami hancur karena semua ini.” Jawabku.
“ Terus..kamu sanggup melihat Anggi jadi milik orang?, tanya Awin juga.
Aku menggeleng. “Aku tak pernah memikirkan sampai sejauh itu.” Jawabku.
“ Lha.., kok Anggi nggak kamu tembak aja?” balas Awin.
“ Nggak lah Win. Biarlah cinta itu abadi di celah hatiku.” Jawabku pula.
“ Alah.. sok puitis kamu. Cinta itu seperti mata air. Nggak kan pernah bisa kamu tutupi. “ imbuh Awin lagi.
“ Ah, biarlah. Yuk, aku pergi dulu !” sergahku
“ Eh, kamu pulangnya jam sembilan kan ?’, aku nitip pecel lele ya. Pakai uang kamu dulu. Entar malam aku ganti dech.” Kata Awin.
“ Oke, masih ada yang lain?” tanya ku lagi.
“ Iya, kamu tembak aja tuh si Anggi.” Jawab Awin.
“ That’s not your busines bro,” balasku.
Awin hanya menggeleng dan tersenyum. Awin teman satu jurusanku, satu kamar bahkan satu daerah denganku. Aku tahu kalau ia bermaksud baik.
---------------------$$$-------------------------
Tak banyak yang kulakukan di kost Anggi. Mendengarkan ia curhat, cerita, dan sekedar bercanda. Meski begitu aku betah berlama-lama disana hingga pukul sembilan malam. Kemudian pulang. Begitulah setiap harinya.
“ Nih..pecel lele mu.” Ucapku seraya menyodorkannya pada Awin.
“ Ini dia.., nih uangnya.” Kata Awin.
“ Win, aku pecundang ya?” tanyaku pada Awin yang asyik makan pecel lele.
“ Siapa bilang?” tanya Awin.
“ Aku. Aku kan nggak berani bilang perasaanku pada Anggi. “ jawabku.
“ Wei, kalau kamu nggak mau dibilang pecundang, udah…kamu tembak aja tuh si Anggi. Gampang kan?” jawab Awin lagi.
“ Gampang gundulmu. Aku gak sanggup.”
“Sampai kapan, Wei?, kamu kok rendah diri gitu sich?. Cuma tinggal bilang, “Anggi.. , aku suka kamu !, apa payahnya??”
-------------000000--------------
Malam semakin larut, Awin sudah nyenyak dengan mimpi indahnya. Aku, sedikitpun belum merasa ngantuk. Kembali ku ambil binderku. Menulis sebuah puisi untuk Anggi, sambil memandangi pantulan bayangan bulan di kolam.
“ Bulan di atas air,
saat malam meninggi..
aku yang memandangmu,
dibayangan air.. tak mampu menengadah ke atas “
Hanya sebait puisi lagi, selebihnya aku lebih banyak melamun. Bicara sendiri kepada bayangan bulan putih di kolam. Tersenyum sendiri, menyebut nama Anggi. Anggian Arkha Ayunda.
Esoknya, sepulang dari kampus. Kusempatkan ke toko buku Gramedia yang tidak begitu jauh dari kampusku. Mencari sebuah buku cinta. “Tips jitu buat nembak cewek”. Setelah membayar di kasir, aku ngeloyor pergi. Aku sudah putuskan untuk nembak Anggi malam ini. Latihan tadi malam rasanya sudah cukup bagiku. Aku akan buktikan kalau Vikhla Arweidi bukan seorang pecundang yang hanya mampu ucapkan cinta pada lembaran kertas. Tekadku sudah bulat.
Malamnya, seperti biasanya, setelah mandi dan memakai kemeja distro kesayanganku, nyemprotin parfumku, aroma yang disukai Anggi.
“ Ehem, ehem. Ke tempat Anggi lagi nih?” goda Awin.
“ Iya Win.” Jawabku semangat.
“ Eits, semangat bener. Rencananya, mo nembak?” tanya Awin lagi.
“ Kayaknya iya nih. Memang sepantasnya kalau aku harus ungkapin semuanya ma Anggi.” Jawabku.
“ Nah..gitu dong!, oke deh bos, ane dukung deh. Pokoknya kamu harus Pe-de. Kalau kita emang punya tujuan baik cewek pasti mau. Kalau bisa, pegang tangannya. Tatap matanya, ucapin dengan tulus. Percayalah. Good luck, okey..” dukung Awin.
Sebelum ngeloyor pergi, kusempatkan memandang sang bulan di pantulan air kolam. Kemudian memandang ke atas langit.” Bulan putih.. tungggulah.” Ucapku dalam hati.
Tak sampai lima belas menit, aku sudah nyampai di tempat kostnya Anggi. Memanggilnya dan ia keluar. Dalam hatiku, kuucapin basmalah sesering mungkin. Wow..ia begitu cantik malam ini. Riasan wajahnya yang alami berpadu dengan gaun biru yang di pakainya. Tapi sepertinya ia mau pergi.
“ Mau kemana Nggi?, tumben pake gaun gini. Cantik banget.” Pujiku.
“ Masa’ sih?, makasih... Anggi mau pergi ma Dawa. Dia ngajak ke pesta sepupunya. Sekalian makan malam disana.” Jawab Anggi.
“ Dawa?, Dawa Alfian?” tanyaku gak percaya. Rasanya jantungku seperti berhenti berdetak.
“ Iya. Dawa. Teman satu jurusan kamu. Eh, sorry ya Wei. Anggi gak bisa nemenin kamu malam ini. Panggil Suci aja. Dia ada di dalam kok.” Kata Anggi.
“ Ah.. Nggak masalah kok. Aku juga mo ke Gramedia nih. Rencananya mau ngajakin kamu tadinya. Tapi gak papa deh.. aku sendirian aja.” Jawabku berbohong sambil menyembunyikan perih yang mulai merambat dihatiku, yang mulai mencekal irama jantungku.
Tak lama kemudian, sebuah sedan BMW metalik masuk ke halaman kosannya Anggi. Itu mobil Dawa. Teman sejurusanku yang terkenal tajir.
“ Hei, Arweidi. Kamu disini ya..ngapain?” tanya Dawa padaku.
“ Ah..biasa. Aku sering main disini kok. Daripada sendirian di kost.” Jawabku menyembunyikan kecemburuanku.
“ Kamu sich.. kelamaan tuh jomblonya. Ya, okeylah ini mau ngajak Anggi makan malam. Yok Nggi..” kata Dawa sambil ngajak Anggi yang memang udah bersiap-siap pergi.
Aku hanya bisa menahan nafas saat Dawa menggenggam tangan Anggi. Apalagi saat Dawa membukakan pintu mobil buat Anggi. Romantis sekali.. "Duh Tuhan, aku tak sanggup lagi..".
Setelah mereka pergi, aku memutuskan untuk pulang. Aku tak menyangka semua ini terjadi. Aku benar-benar kecewa. Persiapan untuk mengutarakan perasaaanku selama ini hancur total. Aku benar-benar jadi pecundang. Dengan gontai aku melangkah. Aku cepat-cepat pulang.
Di rumah, Awin belum pulang. Nampaknya ia juga ngapelin Wita, pacarnya. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Semua ini begitu perih. Rasanya cuman aku sendiri yang paling menderita di dunia ini. Kuambil lagi notebook tempat kutuangkan semua perasaanku pada Anggi. Kembali kubuat sebuah puisi di tepi kolam lele di depan kostku.
“ Bulan di atas air,
Saat air pasang yang kuharap,
Sinarmu yang ku damba jadi milikku.
Tapi, kali ini aku terhenyak,
Gumpalan awan menutupi sinarmu.
Tak ada pantulan lagi,
Hingga malam tenggelam “
Seiring dengan selesainya puisi itu. Kupandangi bulan di langit yang memang tertutup awan gelap. Sinarnya redup. Sepertinya bulan memang tak mau lagi membagi sinarnya denganku. Kuletakkan notebook di tanganku ke atas air kolam. Perlahan notebook itu tenggelam. Tenggelam bersama seribu puisi dan keindahan yang pernah kuimpikan. Tenggelam bersama luka yang hanya bisa kurasakan sendiri.
Pekanbaru, 29 November 2006
Buat Sahabatku, “ Maafkan aku”http://www.facebook.com/notes.php?id=1626700363¬es_tab=app_2347471856#!/note.php?note_id=466128196810
Sabtu, Desember 04, 2010
Bulan Di Atas Air
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar